Daftar Posting

Selasa, 23 November 2010

MUSIK STAMBUL

ABANG BECAK
(Vocal : Little Keroncong)

Dalam khazanah budaya   berkesenian masyarakat Belitong ada satu aliran kesenian hiburan yang penting untuk dilestarikan keberadaanya. Kesenian ini adalah jenis musik Orkes Stambul. Aliran musik sejenis  keroncong.
Sebagai sebuah produk kesenian yang telah melalui proses akulturasi budaya, sampai saat ini orkes Stambul masih tetap eksis dan sering ditampilkan dalam berbagai event kegiatan budaya masyarakat. Salah satunya sebagai pengisi acara hiburan malam pada acara Maras Tahun masyarakat Belitong.

Ciri khas musik Stambul adalah berirama mendayu-dayu. Bait atau liriknya lazim berupa  pantun ‘A B A B’  dalam tutur atau bahasa yang indah. Berisi puji-pujian, harapan dan ratapan hati dan kadang-kadang  terselip nasehat-nasehat. Simak saja petikan bait Stambul Anak Jampang yang dinyanyikan Alm. Chrisye dengan iringan orchestra Erwin Gutawa dalam albumnya “Dekade” :
Anak Kepiting Di Lubang Batu
Sudah Dilubang Merayap Lagi
Badanlah Miskin Tambah Piatu
Sudah Piatu Melarat Lagi

Oleh karena musiknya berirama tenang, lembut dan mendayu-dayu maka kesenian orkes Stambul  di Belitong sering dimainkan pada malam hari hingga menjelang subuh.  Pada acara adat Maras Tahun misalnya, musik Stambul Fajar berperan sebagai ‘hidangan penutup’. Teman bagi para hadirin mengiringi  mereka berbincang-bincang ( istilah bahasa Belitungnya  Begalor ) sambil minum kopi hangat untuk melewatkan malam menanti datangnya pagi. Dan oleh karena itupula orkes musik stambul di Belitong sering disebut sebagai orkes Stambul Fajar.

Tidak begitu jelas kapan dan bagaimana masyarakat Belitong pertama kali  memainkan musik Stambul ini. Menurut Wikipedia Indonesia  ( Masa Stambul 1880-1929 ), musik ini telah ada di Indonesia sejak tahun 1880. Tepatnya di sekitar Jakarta dari daerah Tugu, Gambir dan Kemayoran. Kemungkinan dari sinilah jenis musik ini kemudian dibawa oleh para seniman ke Belitong.
Di Belitong sendiri, banyak kelompok-kelompok seni yang khusus menekuni bidang musik satu ini. Kelompok-kelompok seniman tersebut tersebar di daerah-daerah pedalaman pulau Belitong bahkan sampai ke daratan Selat Nasik. Satu diantaranya  kelompok Kroncong dan Stambul pimpinan Pak Satar Sirim, terbilang masih keluarga dekat kami yang saat ini menetap di Desa Renggiang Belitong Timur. Beliau dan kelompok musik yang beranggotakan keluarga beliau sendiri sampai saat ini masih  setia menggeluti dan melestarikan kesenian ini.

Ki Agus Wahyudi–jurnalis warga asli Belitong yang saat ini bekerja di sebuah TV Swasta dan aktif menulis di berbagai media—mencatat, bahwa di Selat Nasik terdapat  dua kelompok orkes musik stambul, yaitu Stambul Fajar dan Stambul Sedap Malam. Sedikit melegakan, menurut KI Agus Wahyudi, para pemain Stambul Sedap Malam misalnya tidak lagi didominasi oleh kaum berumur saja. Dua diantara anggota mereka masih belia, kakak beradik Roki dan Sahroli. Mereka berdua memang belum lama menekuni musik ini.
Saya terharu sekaligus bangga saat melihat bagaimana penampilan orkes Stambul Fajar dalam sebuah video dokumenter acara Maras Taun di Selat Nasik beberapa waktu lalu. Sampai kapankah kelompok musik ini akan bertahan ditengah globalisasi budaya saat ini. Sampai kapan mereka bisa bertahan melawan hiburan kesenian lain yang didukung teknologi sejenis hiburan organ tunggal, misalnya. Lalu akankah para generasi muda semakin hari kian banyak yang menaruh perhatian, minat  dan menggemari jenis kesenian ini.
Beruntunglah,  adanya acara adat seperti Maras Taun,  secara tidak langsung telah menyelamatkan eksistensi atau kehadiran musik Stambul di Belitong setidak-tidaknya untuk ritual setahun sekali. Dilain kesempatan kadang-kadang masih ada  ‘order job’ manggung dari para penikmat mereka–lebih tepat nya ‘penyayang’—dalam acara-acara kekeluargaan seperti hajatan perkawinan.

Sekedar bahan perbandingan. Sekitar tahun 1986 saat masih kost di daerah Petukangan, Jakarta Selatan—saya masih bisa menikmati kesenian Betawi, Sahibul Hikayat dalam sebuah acara khitanan pada saat itu. Lalu setelah 23 tahun berlalu, saya merasa kesenian tersebut saat ini hampir tak pernah lagi terdengar dan tampil pada acara-acara resepsi perkawinan atau khitanan. Salah satu sebab yang paling mungkin dikarenakan sepinya permintaaan manggung. Atau bisa pula dikarenakan hambatan pada regenerasi para senimannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar